Berbicara Tentang Ekspektasi dan Cara Menyikapinya


Hari ini aku sengaja bangun tidur lebih siang daripada biasanya, karena hari ini aku tidak ada jadwal kuliah pagi. Saat aku bangun, suasana rumah sudah sepi. Orang tuaku pergi berangkat kerja, dan kakakku sedang ke kampus untuk mengurus beberapa hal terkait keperluan wisudanya.
Setelah beberapa menit bermalas-malasan di kasur, aku bangkit dan berjalan ke ruang makan untuk mengambil air minum. Lalu aku menghempaskan badan di kursi meja makan. Aku menyalakan telepon genggam, membuka aplikasi Instagram dan melihat cerita teman-teman yang dibagikan di sana.
Tiba-tiba aku menemukan satu cerita yang menarik perhatianku. Aku komentari ceritanya dengan menggunakan perspektifku.
"Sebenarnya orang-orang yang melakukan basa-basi menggunakan topik tubuh manusia itu adalah produk warisan dari generasi sebelumnya. Sekarang dengan adanya istilah body shaming, orang-orang mulai mempermasalahkannya. Basa-basi seperti itu memang tidak boleh dianggap wajar, seharusnya," aku mengomentari status Gigi—teman dekatku dari kampus lain—yang menceritakan kegelisahannya tentang kebiasaan orang-orang membicarakan tubuh manusia.
Beberapa menit setelahnya, Gigi membalas, "aku hanya tidak suka kalau ada orang yang mempermasalahkan fisik orang lain. Karena aku juga salah satu korbannya."
"Sakit rasanya hidup di dalam ekspektasi orang lain," tambahnya.
"Kalau kataku sih, justru yang sering memberi ekspektasi berlebih itu adalah orang-orang terdekat kita, orang tua misalnya. Entah ekspektasi itu bertujuan untuk memicu, atau memang mereka berharap anaknya bisa menjadi seperti yang diekspektasikan," aku membalas sekenanya.

*****

Setiap orang punya caranya masing-masing dalam menanggapi ekspektasi. Kalau aku pribadi, aku akan merasa tertantang dengan adanya ekspektasi yang diberikan orang lain kepadaku, khususnya dari orang terdekatku (baca: orang tua). Tidak hanya ekspektasi saja yang mampu membuatku tertantang, hinaan juga. Contoh; orang tuaku pernah mengataiku, “jangan main gitar keras-keras! Mainmu kacau! Bikin sakit kepala saja!” Setelah ucapan itu dilontarkan, aku belajar bermain gitar lebih giat lagi, mengasah kemampuanku.
Tetapi kembali lagi pada pribadi orang yang menerima ekspektasi atau hinaan tersebut. Orang-orang kadang terlampau peduli terhadap ucapan orang lain (tentangnya), padahal tidak semua ucapan orang lain harus didengar. Ada yang harus dilupakan langsung—bodo amat, ada juga yang hanya perlu didengar sejenak lalu lupakan. Jangan terlalu dipedulikan.
Seperti kalimat yang sering kita dengar, "semua yang berlebihan itu tidak baik." Nah, termasuk kepedulian. Peduli berlebihan itu tidak baik, apalagi peduli pada hal-hal yang tidak penting. Terkadang seseorang harus merasa "bodo amat" saat menghadapi beberapa hal. Tapi orang tersebut harus paham ritme dan peletakan sikap bodo amat tersebut. Jangan sampai bersikap bodo amat pada sesuatu yang akan disesalkan nantinya.
Dalam kasus temanku ini, mungkin ekspektasi yang diberikan kepada dia membuat orang yang memberi ekspektasi tersebut menjadi tidak pernah puas terhadap apapun yang dilakukan oleh dia. *

*) Paragraf tersebut hanya asumsi saja.

Comments

Popular Posts