Mariana


Masa remaja pada diri seorang anak ditandai oleh perilakunya yang sering mempertanyakan esensi dari segala hal yang ada. Agama dan Tuhan banyak dijadikan objek bagi si anak untuk bertanya-tanya, apakah hidup perlu agama atau apakah Tuhan benar-benar ada.
Inilah yang sedang aku rasakan. Namaku Aray, aku dibesarkan dalam keluarga yang suportif. Semua yang aku pilih adalah murni pilihanku, tidak ada paksaan dari orang tua. Termasuk pilihan ketika aku memilih kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Aku kini sedang dalam masa pencarian jati diri. Aku sering mempertanyakan banyak hal, tentang mengapa orang tua menentukan agamaku, dan tentang kebenaran adanya cinta sejati.
Awalnya aku kira cinta sejati itu seperti yang aku lihat pada orang tuaku. Mereka tumbuh menua bersama dengan hadirnya aku sebagai buah dari cinta mereka. Aku merasa senang bisa berada di keluarga ini. Aku merasa beruntung. Setidaknya aku merasa bahagia sebelum pengetahuan menyiksa diriku sendiri.
Saat itu aku sedang makan malam berdua dengan Ayahku. Ibuku sedang ada urusan di kantor sampai malam. Setelah Ayahku selesai makan, ia pergi ke kamar mandi meninggalkan handphone-nya. Sejenak setelah Ayahku pergi, handphone itu bergetar, menampilkan pemberitahuan pesan dari seseorang bernama Mariana. Isi pesannya Iya, Sayang. Aku memaku, menghentikan tanganku yang hendak menyuap makanan. Aku linglung. Siapa Mariana? Ada hubungan apa dia dengan Ayahku? Pertanyaan-pertanyaan memenuhi pikiranku. Mungkinkah Ayahku selingkuh? Argh, nafsu makanku hilang seketika.
Ketika ayahku kembali ke meja, aku langsung bilang bahwa aku sudah kenyang dan ingin langsung pulang. Ayahku menyetujuinya. Selama perjalanan aku hanya diam dengan pikiran yang kalut. Ayahku juga diam dan fokus menyetir.
Besoknya aku bertekad untuk mencari tahu semua tentang Mariana. Pagi-pagi sekali aku menyalakan komputer, dan mulai melacak informasi tentang dia. Dengan keahlianku di bidang IT yang lumayan bagus, dalam waktu satu jam saja aku berhasil menyadap handphone Ayahku. Aku temukan nama Mariana di daftar teratas orang yang mengirim pesan. Aku ragu untuk membukanya, antara penasaran dan takut menghadapi kenyataan setelah ini. Akhirnya ku buka juga pesan itu.
Iya, Sayang. Hati-hati perjalanannya. Kalo udah pulang ke Semarang kita check-in yaa?Hatiku seperti berhenti berdetak. Memang benar pagi itu Ayahku sedang pergi ke luar kota. Aku ingin mati saja saat itu. Dengan hati yang tersayat, aku baca obrolan itu dari awal. Di tengah obrolan, aku temukan Ayahku memanggil sosok Mariana itu dengan sebutan istriku. Aku benar-benar tidak percaya dengan fakta bahwa Ayahku mengkhianati Ibu.
Beberapa hari setelah aku mengetahui perselingkuhan Ayahku, aku tidak pulang ke rumah. Aku mempersiapkan rencana untuk menanyakan hal itu kepada Ayah. Jumat malam itu, ketika aku pulang ke rumah, aku menemukan Ayahku di ruang tamu duduk sendirian sedang menatap handphone. Setelah menaruh tas dan berganti baju di kamar, aku langsung menghampiri Ayahku, duduk tepat di hadapannya.
Yah, aku mau tanya,” aku membuka obrolan dengan sikap seserius mungkin.
Ayahku mengangkat wajahnya, menatapku. “Tanya apa, Ray?”
Aku mulai menjelaskan maksudku secara kronologis, sejak apa yang aku lihat di rumah makan hingga semua hasil penelusuranku. Wajah Ayahku langsung pucat. Aku benci melihat wajah itu.

Bersambung
Trilogi Pertama. Baca lanjutannya Prius dan Aray

Comments

Popular Posts