Menyatukan Cita-Cita Semu

Dalam sebuah perkampungan, ada beberapa masyarakat yang jarang bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Suatu ketika di perkampungan itu ada acara kumpul-kumpul, dan orang yang jarang bersosialisasi tadi memutuskan untuk hadir di acara tersebut. Saat acaranya dimulai, masyarakat mulai menyindir orang-orang yang jarang bersosialisasi tadi dengan terang-terangan. Dalam kasus ini, siapa yang salah? Mari dibahas.
Ada dua logika yang bisa dipakai di sini. Yang pertama adalah logika sebagai korban (masyarakat yang disindir), dan kedua; logika sebagai tersangka (penyindir). Tapi agaknya orang-orang lebih suka memakai logika kedua untuk pembelaan atas tindakannya (penyindiran).
Di sini saya akan membahas logika kedua dahulu. Dalam kasus ini, orang-orang yang bertindak sebagai penyindir memiliki kuasa yang besar, karena mereka merasa dirinya tidak bersalah.
"Aku jarang ikut kumpul, tapi sekalinya ikut kumpul malah disindir melulu," keluh si korban.
"Kamu jarang berkumpul, lalu saat ikut kumpul disindir-sindir itu karena salah siapa? Kamu sendiri kenapa selama ini jarang berkumpul? Itu kan konsekuensi dari perilakumu," kilah si tersangka, dengan pledoi-pledoinya.
Mudah sekali bukan, membela diri sendiri. Menghukum kesalahan orang dengan kesalahan lainnya. Mengapa aku sebut tindakan si tersangka sebagai "kesalahan"? Jawabannya adalah karena si tersangka mengubur cita-cita semunya hanya untuk kepuasan ego sesaat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, individu-individu di dalamnya banyak yang memiliki cita-cita; hidup rukun, guyub, damai dan tenteram, dan lain-lain. Termasuk si tersangka, ia juga memiliki cita-cita itu sebenarnya. Tapi dengan tindakannya itu, justru si tersangka tidak mengupayakan persatuan di dalam masyarakat perkampungan, tapi malah semakin memberikan jarak antara orang-orang yang jarang berkumpul, atau kita sebut saja sebagai orang yang terasing, dengan masyarakat lainnya.
Di sini ketua atau kepala kampung harus memiliki peran untuk menjadi pihak netral yang mendamaikan pihak tersangka dan korban. Tetapi kalau menurut pengamatanku—yang boleh disetujui atau tidak oleh para pembaca—ketua atau kepala kampung yang sering aku jumpai justru tidak memosisikan diri sebagai pihak netral, tetapi ia berada di pihak si tersangka. Entah dia melakukan itu karena memang tidak sadar tentang logikanya yang terbalik, atau karena dia takut kehilangan dukungan oleh mayoritasmayoritas yang dimaksud di sini tentu dari pihak tersangka. Elektabilitas begitu penting bagi orang-orang seperti itu (ketua atau kepala).
Di atas tadi aku menuliskan bahwa orang-orang lebih suka memakai logika yang kedua karena aku sendiri sering mengamati perilaku orang-orang di sekitarku, dan setelah aku tarik kesimpulan, itulah hipotesis yang paling akurat.
Lalu, membahas penggunaan logika pertama—posisi sebagai korban. Jika berpikir dengan akal sehat—di luar pemikiran masyarakat umum yang salah kaprah—korban seharusnya diperlakukan lebih baik saat mengikuti perkumpulan itu. Korban seharusnya dirangkul agar semakin sering bersosialisasi, bukan disindir-sindir, yang membuat ia semakin terasing. Mungkin alasan si korban jarang berkumpul itu karena ia merasa tidak cocok berkumpul dengan masyarakat lain. Atau mungkin ada alasan-alasan lain yang sulit ia ungkapkan.
Beberapa kasus yang sudah terjadi di negeri kita tercinta—Indonesia, pihak korban sering mendapat perilaku yang tidak semestinya, seperti yang sudah terjadi akhir-akhir ini; korban pelecehan seksual dipenjara karena menyebarkan bukti. Padahal yang paling dibutuhkan korban adalah perlindungan.
Solusi terbaik yang bisa aku berikan untuk kasus ini adalah; seharusnya masyarakat bisa lebih dewasa lagi. Dan masyarakat harus bisa menyesuaikan perilakunya dengan cita-cita yang ingin diwujudkan. Kalau ingin bersatu, ya harus saling merangkul.
Ingin bersatu tetapi perilaku saling memecah adalah bagaikan menyatukan cita-cita semu

Tulisan ini didedikasikan untuk orang Indonesia yang masih memelihara logika terbalik di otaknya.

Comments

Popular Posts