Prius


Di kantor, saya sering dipanggil “Bos Prius” oleh para karyawan saya. Tidak mengherankan, karena posisi saya adalah pemilik perusahaan finansial yang melayani pengajuan kredit motor dan mobil. Setiap hari, dari pagi sampai petang, saya habiskan waktu saya dengan berada di kantor, mengurus segala hal dari balik meja.
Saya memiliki seorang anak tunggal yang bernama Aray. Dia anak yang tidak terlalu banyak bicara, padahal dia sangat pandai sebenarnya. Dia lebih senang menyendiri ketika di rumah, membaca buku-buku yang tidak saya pahami. Dengan istri saya yang juga bekerja dari pagi sampai petang di kantor, praktis Aray punya lebih banyak waktu untuk menyendiri.
Aray anak yang sangat saya banggakan. Seluruh hidup saya, saya berikan kepadanya. Termasuk ketika saya mendirikan perusahaan ini, saya semata ingin membuat ia bangga. Saya menyayangi Aray lebih dari apapun di dunia ini.
Di usianya yang menginjak remaja, ia sering melakukan sedikit kenakalan. Kenakalan khas remaja, yang dulu juga pernah saya lakukan; seperti mengonsumsi alkohol, pergi dari rumah beberapa hari, dan semacam itu. Saya biarkan saja, selama tidak melampaui batas saya bisa memakluminya.
Di posisi saya yang sebagai direktur perusahaan, saya akui banyak perempuan yang mencoba mencari perhatian saya. Beberapa customer ada yang terang-terangan menunjukkan itu. Hingga akhirnya saya bertemu dengan perempuan bernama Mariana.
Awalnya hubungan saya dengan Mariana hanya sebatas hubungan antara penjual dan pembeli. Saya juga tahu bahwa Mariana sudah memiliki suami dan anak. Tapi lama-kelamaan saya tertarik dengan pesonanya, dan saya rasa diapun merasakan hal yang sama pada saya.
Dari saling mengirim pesan, hubungan kami berlanjut pada kencan. Saat kencan, Mariana tidak ragu untuk melemparkan candaan yang menjurus ke hal-hal berbau seksual, dengan gestur yang menggoda tentunya.
Seiring waktu berjalan, intensitas kencan yang kami lakukan semakin intensif. Dari yang awalnya seminggu sekali, kini hampir tiap hari kami bertemu. Kadang waktu setelah kantor tutup, kadang pula saat jam makan siang—kami sempatkan untuk kencan. Kami pun sudah tidak sungkan lagi untuk menggunakan panggilan sayang.
Makin hari kami makin berani dalam berhubungan. Tidak sekadar kencan saja, kini kami mulai berani untuk check-in. Saya semakin tidak bisa lepas dari dia. Saya semakin tertantang untuk berbuat lebih jauh. Hingga kami melakukan persetubuhan terlarang. Saya akui tubuh Mariana lebih menggoda daripada istri saya yang mulai menua. Ciuman yang ia berikan menggelorakan jiwa saya kembali muda. Payudaranya sangat menggoda. Dan yang paling spesial adalah vaginanya, membuat saya melayang. Ia juga mengakui bahwa kontol saya membuatnya ketagihan.
Kami sama-sama terbuai oleh hubungan terlarang ini, hingga saya melupakan bahwa anak saya telah berubah sikapnya. Saya tidak menyadari apa alasan sebenarnya yang membuat Aray jarang pulang ke rumah. Saya telat menyadari keadaan, semua telah terlambat. Aray mengetahui hubungan saya dengan Mariana. Saya benar-benar terkejut ketika dia mengatakan semua yang dia ketahui.
Aray telah sangat dewasa saat membicarakan perselingkuhan saya. Berapa banyak waktu yang telah saya lewatkan sehingga saya lupa bahwa Aray sudah menjadi lelaki yang dewasa. Ia begitu bijaksana menyikapi kasus ini. Saya malu. Saya merasa sangat berdosa.
“Aray, maafkan ayah. Ayah sudah mengecewakan kamu,” saya memohon kepada Aray, setelah ia menjelaskan semua hasil penelusurannya.
Saya menyesal. Mungkin semua hukuman layak saya terima.

Bersambung
Trilogi Kedua. Baca cerita sebelumnya Mariana dan lanjutannya Aray

Comments

Popular Posts