#WhyILike Ardhito Pramono

 Hi guys,

Di episode ketiga ini aku mau ngomongin tentang salah satu sosok favoritku—Ardhito Pramono. Kenapa aku menyebutnya sebagai sosok, bukan musisi, itu karena aku menyukai Ardhito melebihi eksistensinya sebagai seorang musisi. Proses sukaku terhadap Ardhito tergolong cepat. Aku sudah tahu nama Ardhito sejak lama, tapi aku belum pernah mendengar karya-karyanya sampai Maret 2019.

Solo, 30 Maret 2019. Aku sengaja pergi jauh ke Solo untuk menghadiri konser Mangkunegaran Jazz. Hanya satu yang membuatku tertarik untuk datang—Eva Celia. Aku sangat suka Eva Celia; musiknya, vokalnya, sangat asyik. Walaupun di konser itu terdapat beberapa nama besar lain, seperti d'Masiv, Ardhito Pramono, dan Lianne La Havas, namun hanya Eva Celia yang bikin aku penasaran.

Ardhito Pramono tampil sebelum Eva Celia. Saat itu aku benar-benar kosong tentang Dhito, tidak ada satupun informasi yang aku tahu tentangnya selain dia seorang musisi yang punya banyak penggemar perempuan. Saat Ardhito tampil, saat itu juga aku langsung menyukainya. Musiknya yang kental dengan sentuhan jazz membuatku tersenyum-senyum—bagus. Setelah dari acara itu aku mencari tahu lagu-lagu Ardhito yang lain dan ternyata memang dia musisi yang bagus.

Lebih jauh mengenal Ardhito, aku baru tahu kalau dia mendengarkan dan mengulik banyak sekali jenis musik, walaupun hal itu juga bisa terlihat dari musik-musik yang ia ciptakan. Kalau kalian mendengarkan EP a letter to my 17 years old dan single fake optics, terlihat bahwa musisi ini referensi musiknya sangat luas. Dari sini bisa dilihat juga bahwa dedikasinya terhadap musik memang tinggi, he’s really passionate for music.

Di luar musik, satu hal yang aku suka dari Ardhito adalah value yang dia bawa. Seseorang yang concern terhadap satu isu tertentu memang menarik, by the way. Ardhito sempat bercerita di beberapa video di YouTube tentang nilai yang coba ia perjuangkan, ia ingin menciptakan lagu untuk anak-anak yang liriknya juga pantas dikonsumsi sesuai usianya. Ardhito juga merupakan orang yang tidak lupa dengan masa lalu. Ia sangat peduli dengan lagu-lagu lama Indonesia, sebuah nilai yang aku pribadi sangat suka. Bahkan ia memiliki segmen khusus di kanal YouTube-nya yang membawakan lagu-lagu lama, segmen itu ia beri nama JASMERAH. Di segmen tersebut ia tidak hanya menyanyikan lagu-lagu lama, namun juga memberikan edukasi singkat tentang sejarah musisi yang ia nyanyikan. Respect!

Secara personality ia pun mengagumkan. Ia orang yang sangat humble, terutama kepada penggemarnya. Respect berat untuk Ardhito pokoknya mah, haha.

 

 *****

 

Pasca Wijayakusuma

 

Tulisan di atas aku tulis sebelum single Wijayakusuma rilis. Tadi aku tulis bahwa Dhito sangat peduli dengan lagu-lagu lama Indonesia, dan single Wijayakusuma membuktikan hal itu. Lewat single baru ini dia membawa kembali “lagu Indonesia” dengan rasa orisinal Indonesia.

Lagu ini memiliki arti lirik yang dalam. Dalam sebuah twit, Ardhito mengungkapkan:

“WIJAYAKUSUMA

Lagu yang ditulis terinspirasi oleh kejadian saat saya menyaksikan sebuah kegiatan transaksional antara orang asing yang ingin menguasai sebuah lahan dengan cara membeli presentase lahan itu 99% dan disisakan 1% untuk adat di salah satu pulau eksotis di Indonesia.

Bukannya bangga, saya malah merenung melihat begitu banyaknya seni dan kekayaan budaya asli Indonesia mulai pudar. Bahkan dalam pola pengkaryaan, sering kali kita malah condong melihat ke kesenian luar.

Melupakan aksara dan tergoda oleh gita dan irama. Semua jadi terdengar sama.”

Lalu apa relevansinya? Mari kita bahas.

Dalam mitologi Jawa, wijayakusuma dianggap sebagai pohon sakti dan dapat menghidupkan orang mati. Tumbuhan ini juga dipercaya sebagai pusaka keraton Dwarawati titisan Wisnu sang pelestari Alam, Batara Kresna. Bagi orang-orang Jawa zaman dahulu, memetik bunga wijayakusuma adalah sebuah larangan, karenan konon bunga ini tidak ditakdirkan untuk dipetik. Silogisme yang bisa disimpulkan dari beberapa hal tadi adalah: mungkin Ardhito ingin mengatakan bahwa lahan (baca: kekayaan alam Indonesia) tidak boleh "dipetik" sembarangan. Fakta lain adalah bunga ini bisa mekar sempurna di waktu sekitar jam 10 malam. Gelap—apakah itu juga ada hubungannya dengan transaksi yang ia sebut tadi? Entah.

Kalau dari segi musik, lagu ini memiliki alunan yang indah, yang sekilas membawa ingatan pendengarnya ke masa-masa Guruh Soekarnoputra. Suara vokal Dhito di lagu ini memiliki kedewasaan yang sama seperti suara Fariz RM, yang mana adalah salah satu vokalis terbaik Indonesia yang pernah ada. Backing vocal seriosa yang ada di beberapa bagian terdengar bagus, ditambah lantunan sinden Jawa dan gamelan, sungguh indah. Lirik lagu ini adalah karya sastra tingkat tinggi, hasil perjalanan, pembelajaran, dan paparan referensi yang selama ini ia alami, jenius. Jujur pertama kali mendengar lagu ini aku menangis, mendengar musik dan lirik yang indah, juga vokal Dhito yang magis. Respect.

Aku tergoda untuk membedah seluruh lirik di lagu ini, karena cukup seksi dan menantang bagiku. Tapi aku rasa cukup dulu untuk tulisan kali ini, sudah cukup banyak kekagumanku pada Ardhito yang ku tuangkan, semoga ada kesempatan lain. Thank you for reading.

Comments

Popular Posts