Dav & Varva #1

Sabtu pagi pukul 8 aku baru terbangun. Agendaku hari ini hanya satu, nonton konser musik nanti malam. Aku selalu menyempatkan hadir jika ada konser musik di kotaku. Bukan hanya untuk mencari inspirasi saja, aku nonton konser musik juga sebagai bentuk support kepada sesama musisi, apalagi yang berkarya di jalur indie. Aku yang juga aktif di bidang musik, tahu betapa susahnya berjuang di industri ini. Dan aku sebagai musisi juga merasakan, betapa bahagianya ketika kita didengar oleh khalayak. Yang perlu ditekankan, aku bermusik bukan untuk terkenal, tetapi untuk didengar.
Aku punya dua tiket untuk konser nanti malam, tapi aku belum kepikiran akan mengajak siapa. Iseng-iseng aku bikin story dengan melampirkan foto tiket di instagramku. Lalu ada beberapa teman yang minta untuk kuajak, tapi aku membalas mereka asal-asalan, bahkan ada yang tidak kurespon. Hingga akhirnya ada satu pesan yang masuk ke instagramku, dari Varva. Pencarianku berakhir, hahaha. Dia bukannya minta kuajak, tapi justru dia mengajakku. Aku suka gadis semacam ini, independen. Varva adalah satu-satunya. Tidak pernah sebelumnya aku menemukan gadis seperti dia.
"Dav, ayo nonton itu," pesan dari Varva.
"Ayo, nanti malam ya," balasku.
"Kita kesananya sore aja ya... Itu ada band favoritku, tampilnya sore."
"Oke deh, nanti aku jemput kamu dimana?"
"Di rumahku aja," jawab Varva sambil mengirim sebuah alamat.
"Siap, aku jemput kamu jam 5 sore. See you, Varva."
"See you, Dav."
Sore pun tiba, dan aku sudah siap untuk menjemput Varva. Beberapa menit untuk perjalanan dan aku telah sampai di depan rumah Varva.
"Varva, aku udah di depan rumahmu nih," pesanku.
"Tunggu sebentar," balasnya.
Tak lama kemudian Varva keluar dengan wajahnya yang gembira. Uniknya, baju yang ia kenakan sewarna dengan bajuku, hijau lumut. Langsung saja kami berangkat menuju tempat konser.
Sesampainya di tempat acara, ternyata masih terlalu dini, belum terlalu ramai. Lalu aku carikan tempat duduk untuk dua orang. Kami pun ngobrol tentang masalah-masalah di hidup kami masing-masing. Aku cerita tentang komunitas musik yang aku ikuti, dan dia cerita tentang organisasi yang dia jalani.
Obrolan bersama Varva jauh lebih atraktif daripada obrolan bersama gadis lain yang pernah kukenal. Karena setelah kutahu, Varva adalah gadis dengan pemikiran terbuka. Pernah suatu waktu kita mengobrol tentang orientasi seksual, dan takdir Tuhan. Sejujurnya, aku lebih suka obrolan yang seperti itu, atau topik-topik lain tentang: pendidikan, makna hidup, musik yang mebuatmu merasa berbeda, kenangan, kebohongan yang pernah kau ucapkan, adegan favoritmu, apa yang membuatmu terjaga sampai larut malam, masa kanak-kanakmu, kegelisahan dan ketakutanmu, dan lain-lain. Obrolan seperti itu (menurutku) lebih dalam dan lebih asyik daripada obrolan basa-basi seperti "sudah makan?", "sudah tidur?", "sudah masa masa subur?"
Malam kian larut, konser itu telah berakhir, tapi bagiku ini bukan akhir, ini sebuah awal. Sebelum ke tempat parkir dan pulang, aku ajak Varva untuk duduk sejenak beristirahat. Setelah beberapa menit beristirahat, kami memutuskan untuk pulang.
"Varva, pake nih jaketku, nanti kamu kedinginan."
"Eh ngga usah, Dav. Kamu pake aja."
"Udah, ngga apa-apa. Aku udah terbiasa sama udara malam kok."
"Oh, oke deh. Makasih ya."
Aku tersenyum.
Ternyata perkiraanku salah, udara malam ini terasa lebih dingin daripada biasanya. Di atas motor aku berusaha menaha rasa dingin.
"Ehm, Varva, nanti sebelum ke rumahmu, kita mampir dulu ya."
"Hah? Mau mampir kemana? Udah malam gini," Tanya Varva dengan perasaan bingung dan curiga.
"Ya justru karena udah malam."
Selama perjalanan, aku dan Varva berdikusi tentang tempat yang hendak kita tuju untuk melewati sisa malam ini. Setelah memutuskan destinasi selanjutnya, Varva hanya menyetujuinya dengan pasrah. Aku tersenyum lebar penuh kemenangan.

Bersambung


Trilogi cerbung: Dav & Varva
Baca selanjutnya Dav & Varva #2 

Comments

Popular Posts