#WhyILike Lexicon
Hi, I’m back again, with my new post. In this article I want to share about one of the most my (maybe like, ever) favorite album—Lexicon. Yeah, Lexicon, nulis kata itu aja rasanya merinding, haha. Nanti bakal aku ceritain kenapa.
Sebenarnya aku suka album ini sudah sejak lama. Sahabatku—Berliana,
jadi salah satu saksi how much I like
this album. Back to a few years ago, aku pernah nemenin Berli penelitian ke
Gedung Arsip dan Perpustakaan Kota Salatiga. Di situ aku juga sempatin cari-cari
data yang berkaitan dengan penelitian skripsiku, siapa tahu ada. Siang, setelah
kita makan dan berjalan kembali ke tempat penelitian, aku dan Berli berbincang
tentang salah satu lagu di album Lexicon, yang judulnya Lexicon itu sendiri.
Aku ingat ngomong begini ke Berli, “yang lagu Lexicon keren banget, waktu
dengerin itu aku kaya lagi dengerin Bohemian Rhapsody. Jenius banget juga sih, bisa
gabungan teknik vokal opera di musik rock.” Aku lupa penelitian waktu itu bulan
apa, tapi yang pasti masih di tahun yang sama ketika Lexicon rilis, terhitung
masih cukup baru lah yaa.
Saksi kedua adalah teman satu kontrakanku—Mas Juna. Saat
pandemi, saat aku sedang proses pengerjaan skripsi, hampir setiap pagi aku
memutar Lexicoustic, pertunjukan yang dibuat Isyana dengan memainkan lagu-lagu
di album Lexicon secara akustik. Hampir setiap pagi. Pertunjukan yang bagus,
mewah, dan memang dipersiapkan secara matang.
Alasan aku suka album ini ada banyak, bahkan tidak semuanya
bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jelasnya, album ini terasa sangat jujur,
ditulis Isyana secara telanjang, diaransemen secara megah, dinyanyikan secara
merdu, dan dipersembahkan secara berani. Yup,
berani, karena sepertinya tidak banyak album yang membawakan aliran musik
seperti yang ada di Lexicon.
Bayangkan, album tersebut dibuka dengan lagu Sikap Duniawi,
dan lagu Sikap Duniawi dibuka dengan bait:
Dengarlah, wahai kawan-kawanku
Kini warna yang kelam hangus
Aku tahu kamu 'kan bertamu
Selamat datang padaku yang baru
Bayangkan. Sesuatu yang tidak banyak orang berani lakukan.
Datang dengan aliran baru, menggebrak dengan hentakan yang membuat orang-orang
jadi “wait, is this you, Isyana?”
Namun kepercayaan diri di level Isyana sudah sampai pada titik, “ini aku yang
baru, aku tahu kok kalian tetap bakal suka.” Like, what?! Tingkat confident
yang pingin banget aku rasain, hahaha. Guess
she haven’t “insecure” word in her Lexicon.
Baru satu baik lirik di album tersebut, tapi kita sudah bisa
bedah sebanyak itu, coba baca dan dalami setiap liriknya, kalian bakal tahu
bagaimana cara pikir Isyana, dan banyak hal lain yang tidak pernah ia ungkap
sebelumnya. Dan asal kalian tahu, itu adalah hal paling intim yang bisa kalian
dapat dari seseorang—memahami dan mencumbui pemikiran di otaknya, jauh sekali
lebih intim daripada hanya mencumbui badannya. Aku merasa seperti berenang di
pemikiran Isyana, sangat menarik dan menyenangkan.
Kita lewati semuanya dahulu, aku akan menceritakan kenapa
menulis kata Lexicon saja sudah bikin merinding, mari kita terbang ke 17 Juni
2022. Tanggal tersebut Isyana menghadirkan Lexiconcert di Semarang, sebuah
konser yang lebih dari sekadar “musisi memainkan musik di atas panggung”.
Lexiconcert lagi-lagi adalah pertunjukan yang disiapkan secara matang. Visual, sound system, tata panggung, konsep
acara, semua menjadi satu kesatuan yang membuat Lexiconcert adalah konser terbaik
yang pernah aku tonton. Ya, aku pernah menonton John Mayer manggung di ICE BSD,
Tangerang, tapi Lexiconcert lebih bagus dari konser John Mayer yang aku tonton.
Lexiconcert benar-benar konser yang edan,
pecah, dan tak terlupakan.
Sebagai penutup, rasanya tidak berlebihan jika menaruh
Lexicon sebagai salah satu karya masterpiece
yang pernah dimiliki sejarah musik Indonesia. Atau mungkin kalian ada pandangan
lain, let me know J
Comments
Post a Comment