Refleksi

Jalanan di luar tampak padat, dipenuhi motor dan mobil, yang pengemudinya ingin segera sampai ke tujuannya masing-masing. Matahari sudah menghilang dari penglihatan, hanya menyisakan sedikit warna jingga di angkasa. Trotoar di depan kafe ini ramai dilewati orang-orang yang berjalan dengan tergesa. Sementara, di dalam kafe suasananya cukup tenang. Orang-orang mengobrol di mejanya masing-masing. Kadang ada yang sampai tertawa lepas. Sesekali juga terlihat beberapa pelayan berjalan mendatangi pengunjung untuk mengantarkan pesanan. Lagu-lagu akustik yang ringan dan lembut, sengaja diputar untuk memanjakan telinga. Seorang pengunjung laki-laki duduk di dekat jendela, dengan sebuah laptop dan segelas minuman di mejanya.

“Aduh Dip, sorry banget ya gue telat. Lo udah lama ya?” seorang gadis menghampiri Dipha dengan wajah yang sedikit tegang—ia mengambil minuman di meja Dipha dan meminumnya.

“Tau nih El, lo kemana aja sih?” Dipha memalingkan pandangannya ke gadis yang baru datang tersebut. Gadis itu duduk berhadapan dengan Dipha.

Sorry… Lo tahu sendiri kan, lalu lintas macet banget. Apalagi ini weekend,” jawab gadis itu sambil mengipaskan tangannya di depan leher.

“Yaudah pesen dulu sono.”

Okey, bentar ya,” ia berdiri membenarkan pakaiannya, lalu berjalan menuju kasir.

Dipha dan Ella sudah bersahabat sejak mereka masih SMA, hingga sekarang mereka kuliah di kampus yang sama; Dipha di jurusan Sastra Indonesia, Ella di jurusan Tata Busana. Mereka sering janjian meet up saat weekend, saling bercerita tentang hal-hal yang mereka lakukan selama satu pekan.

Dipha melirik ke arah Ella yang sedang membalik-balik buku menu di depan meja kasir. Ia terlihat cantik dengan tampilan casual yang ia kenakan hari ini; kaos putih yang menonjolkan bentuk payudaranya yang bulat dan kencang, dibalut dengan overall denim yang ujungnya dilipat sedikit, dan sepatu sneakers warna putih dengan tiga strips hitam sebagai penghiasnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai hingga menyentuh bagian depan dadanya. Dia memang gadis yang cantik dan seksi, tidak heran banyak pria yang mencoba mendekatinya. Tapi Ella tidak pernah menanggapi pria-pria tersebut.

Setelah puas memandangi setiap lekuk tubuh Ella, Dipha kembali fokus ke laptopnya, melanjutkan cerita yang sedang ia tulis.

“Jadi gimana Dip cerita yang lagi lo tulis itu?” Ella kembali ke meja. Ia menarik kursinya ke depan sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Dipha—aroma parfumnya sempat tercium.

“Gue seneng banget, akhirnya gue bisa nemuin kepingan puzzle terakhir yang akan ngelengkapin cerita gue,” ucap Dipha dengan tersenyum sumringah.

“Oh ya? Kaya gimana tuh kepingan puzzlenya?” Ella ikut antusias.

“Ada deh… Nggak surprise kalo dikasih tahu sekarang,” Dipha menggoda Ella.

“Ih lo tuh ya, nyebelin banget,” Ella cemberut dan mencubit lengan Dipha.

“Adu-aduh, sakit tau,” Dipha kesakitan mengusap-usap lengannya.

“Bodo…” Ella menjulurkan lidahnya.

Ella tersenyum, manis sekali. Mereka lanjut mengobrol, kadang juga diselingi dengan canda. Ella menceritakan project yang sedang ia garap bersama teman-temannya, project acara fashion show. Ella sebagai desainernya.

“Ini gimana Dip menurut lo? Bagus nggak?” Ella menunjukkan desain-desain gaun yang ia buat di buku gambarnya.

“Bagus kok El… Emm, ini baju tradisional Filipin ya?” Dipha menunjuk salah satu gambar.

“Iya! Baro at Saya namanya.”

“Gue suka yang ini deh, kelihatan anggun,” Dipha masih menunjuk gambar yang sama.

Ella tersenyum sambil melirik ke arah Dipha, Dipha membalas senyumannya. Lalu Ella sibuk merevisi beberapa detail desain yang ia anggap kurang cocok.

“El, gue tinggal bentar ya,” Dipha berdiri dan mengambil ponselnya di meja.

“Mau kemana lo?” Ella mendongak menatap Dipha.

“Ke situ, bentar kok,” ucap Dipha sambil menunjuk sesuatu di luar.

Okey…” Ella kembali fokus ke buku gambarnya.

Dipha keluar dari kafe lalu menyebrangi jalan raya. Ella melirik dari jendela, melihat Dipha memasuki toko aksesoris yang ada di depan kafe. Ella masih terus melihat bagian depan toko aksesoris itu, seolah-olah penasaran dengan apa yang akan Dipha bawa setelah keluar dari toko tersebut. Ketika sedang asyik melihat toko yang ada di depan, ponsel Ella berdering.

“Halo… Iya, Mah… Ini lagi keluar nih… Udah kok, udah diminum… Iya, Mamah… Udah deh, Mamah nggak usah khawatir, aku perginya sama Dipha, kok... Iya… Okey, Mah… Muach~” Dipha kembali tepat saat Ella mengakhiri panggilannya—Ella tersenyum-senyum.

“Dari siapa El?” Dipha duduk di kursinya semula dan meletakkan barang bawaannya di kursi sebelah.

“Dari nyokap gue… Eh itu lo bawa apaan?” tanya Ella sambil mengintip sesuatu di sebelah kursi Dipha.

“Tadi lo tanya tentang kepingan puzzle terakhir yang akan ngelengkapin cerita gue, kan? Lo bener-bener penasaran sama kepingan itu?” tanya Dipha dengan raut wajah serius.

“Iyah… Emang puzzle apaan sih, gue lihat dong,” Ella tersenyum.

“Lo bener-bener pengen lihat?” Dipha mencondongkan tubuhnya ke depan—ia menopangkan kedua tangannya di meja.

“Emang apaan sih Dip? Tunjukkin aja kali,” Ella mengernyitkan dahinya.

Dipha mengeluarkan sesuatu dari paperbag di sampingnya, ia menyembunyikan tangannya dan sesuatu tersebut di bawah meja. Ella terlihat serius mendengarkan kata demi kata yang Dipha ucapkan. Ia mencoba menebak-nebak apa yang akan Dipha tunjukkan.

“Ini dia… Kepingan puzzle terakhir yang gue cari,” Dipha mengeluarkan sebuah cermin, dan cermin itu dihadapkan kepada Ella.

Ella terdiam membisu, melihat refleksi wajahnya sendiri di dalam cermin tersebut. Ia masih berusaha mencerna makna dari semua ini. Dari apa yang Dipha ucapkan. Dan dari apa yang Dipha perlihatkan.

Comments

Popular Posts